Mamet…. Bukanlah sebuah nama yang bermakna puitis. Bukan pula
seseorang yang memiliki raga sempurna. Dia hanyalah seorang bocah polos
yang harus bergerak dengan bantuan sebuah kursi roda karena kedua
kakinya sudah lumpuh teramputasi. Seorang anak yang entah kenapa
membawa sebuah perubahan pada Riza... (Pada bos gue)
Entah seperti apa
proses itu berjalan, banyak sekali perubahan-perubahan kecil pada Riza
yang ternyata bukan gue aja yang ngerasain, tapi seluruh divisi pun
merasakanya (bahkan ada yang menyangka kalo dia lagi jatuh cinta).
Sampai pada kesempatan inilah gue sekuat tenaga ngumpulin keberanian
buat nanya apa yang terjadi pada dirinya (tentu setelah kami akrab)
“Emang ada apa dengan saya?” katanya balik bertanya .
“Maaf pak, bukanya mau sok tau, tapi kayaknya bapak jadi ‘beda’ setelah peristiwa di busway .” Kata gue ngeri banget dia ngamuk.
“Owh,
itu. “ dia tersenyum. (lagi dan lagi bikin gue terpesona, ugh seandainya
blom punya tunangan gue mau deh jadi pacarnya) “Ga apa-apa. Cuma mungkin
ada yang berkesan dari peristiwa itu.”
“Mmmm... Anak itu polos ya.
Kalo dia cerdas, mestinya dia diam. Karena bisa jadi copet itu lebih
dari satu orang dan ga ada yang bisa menjamin mereka ga bawa-bawa
senjata kan.”
“Kamu bener. Tapi dia hebat. Dibalik kepolosanya dia
punya keberanian untuk menolong orang. Jujur pada saat saya melihatnya,
saya merasa saya sedang melhat riwayat saya. Dulu, dalam bis, saya pun
pernah memergoki pencopet yang sedang beraksi terhadap seorang ibu.
Bedanya, saya sama sekali tidak punya keberanian untuk meneriaki nya.
Dan tidak lama setelah si copet berhasil mengambil dan turun, dan
mungkin, merasa tidak ada yang tau. Si ibu pun menangis tersedu-sedu.
Meratapi uangnya yang ternyata adalah hasil pinjaman dari tetangganya
yang akan dipakai buat modal jualan kecil-kecilan. Dan saat itu saya ga
pernah bisa lupain rasa bersalah saya. Bahkan tidak jarang saya berdoa
semoga Tuhan mau mempertemukan saya dengan si ibu itu. Untuk mengganti
uangnya. Saya tau persis bagaimana sulitnya hidup.”
Riza berbicara
cukup tenang, mungkin pikiranya mampir sejenak ke masa lampau untuk
menganang masa yang diceritakanya yang mungkin pula mirip dengan
peristiwa yang kami alami di dalam busway. Dan rupanya kejadian tersebut
membuat Riza dan Mamet berteman, Riza bertukar nomor dengan pamanya
Mamet yang berdiri disebelah gue ketika di Busway.
“Ngomong-ngomong nanti sore bisa ga temenin saya ke rumahnya. Saya berniat memberikan sedikit hadiah untuk Mamet.”
“Oh,
boleh-boleh. Kebetulan sekali saya ga ada acara apa-apa. Tapi Maaf pak,
ngomong-ngomong nomor bapak yang kartu H**** kok ga active ya? Maksud
saya, kalo mati tentu banyak klient kita yang ga bisa konfirmasi ke
nomor itu.”
“Oh, Iya! Sorry Sejak kemarin malam saya matikan, habis saya malas banyak yang iseng.”
Dan
tanpa diminta dua kali, Riza langsung meraih tasnya dan mengambil
Handphone nya yang lain untuk dinyalakan. Dan benar saja, ketika telah
nyala, bunyi ringtone langsung terdengar berkali-kali. Gue menunggu
sejenak apakah ada kabar dari urusan pekerjaan. Namun gue merasa ada yang
lain ketika melihat raut wajah Riza yang tiba- tiba kaget. Saking
kagetnya dia menyerahkan sendiri handphone tersebut dan member isyarat
membaca nya sendiri sebuah sms…
“ Innalillahi Wa’ Innalillahi Roziun…
Mamet udah ga ada pak. Dia udah pergi selama-lamanya...Terima kasih
atas kebaikan Bapak selama ini terhadap Mamet. Semoga dia bisa diterima…
Amin.”
Sms itu di kirim semalam, itu tandanya hari ini acara pemakamanya.
”Hallo...!!! Dengan pak Rudi? Saya Riza pak, maaf saya baru buka sms. Mamet… Oh, Ya. Terima kasih pak.”
Setelah menelpon, Riza menatap gue dan berkata,
“Kamu ga keberatan temenin saya kerumahnya sekarang?Sepertinya kita memang harus ke rumahnya sekarang.”
Mobil
langsung melaju menuju rumah Mamet di daerah Rawamangun. Untungnya
jalanan tidak macet diwaktu siang. Dan hanya membutuhkan waktu 45
menitan dari kantor gue di daerah Sudirman. Sesampai nya dirumah Mamet,
gue langsung tau ada suasana duka yang menyelimuti rumah itu. Rumah itu
sederhana. Sangat sederhana ditengah pemukiman padat penduduk dari
kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Suasana telah lengang, rupanya
Mamet sudah dimakamkan 1 jam-an yang lalu. Kami hanya di temui
bibinya... Dan pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Riza udah dapat
di tebak jenis pertanyaan apa,
”Meninggalnya kenapa bu?”
”Demam tinggi. Udah dua hari ini dia demam, kami pikir demam biasa. Ternyata demam berdarah.”
Kami terdiam. Sejenak sampai bibinya berkata,
“Dasar bocah….”
“Maaf bu, apakah orang tuanya ada?” Riza bertanya. “Tadinya saya mau memberikan ini untuk Mamet.”
Bibinya
tersenyum getir, dan hanya mengeleng ketika meraih bingkisan kecil
terbungkus kertas coklat. Dan dengan suara sedikit bergetar, bibinya pun
mulai bercerita kisah tentang Mamet.
“Rasanya baru kemarin sore kejadian itu. Saat saya mengambil Mamet dari laki-laki gila itu.”
Tak ada yang bertanya diantara kami. Gue dan Riza membiarkan bibinya bercerita.
“Tidak
lama setelah kematian Kakak saya yang meninggal seusai melahirkan Mamet,
Mamet hanya diurus oleh ayahnya. Entah bagaimana kejadianya, yang
jelas. Menurut kabar yang saya dengar, Ketika itu Mamet merengek minta
di beliin sandal. Kalian tau, Hanya Sebuah Sandal..... Saat itu emosi
ayahnya sedang labil. Mandengar Mamet terus merengek menangis,
membuatnya naik pitam, hingga dia nekat mengambil sebuah balok kayu
besar dan langsung memukul kedua kaki Mamet sampai tulang kakinya
retak.”
Gue berjengit.
”Lukanya parah, sampai harus diamputasi.
Semenjak itu kami ambil untuk mengurusnya. Tapi ada satu hal tentang dia
yang tidak akan pernah saya lupa. Yaitu keinginan dia memiliki sandal
ajaib. Hahaha Dasar bodoh. Dia ingin sekali memiliki sandal ajaib yang
bisa membantu dia bisa kembali berjalan. Hampir setiap hari saya secara
tidak sengaja mendengar dia berdoa untuk mengeluh kepada tuhan. Ingin
bisa berlarian dengan anak-anak seusianya. Ingin bermain bebas….”
Gue nangis.
“Tentu
dengan pemikiran usia yang masih polos pun dia tau hal itu mustahil.
Dan jika saya bisa, saya ingin menukar hampir apa saja demi ’sandal
ajaib itu’....”
Perjalan ke pemakaman tidak jauh, sebelum gerbang TPU
Riza mampir ke sebuah warung entah membeli apa. Setelah mengelilingi
TPU, akhirnya kami menemukanya. Pusara itu kecil, tertancap kayu
sederhana bertuliskan M. Mahdafi Rakasya. Gue dan bibinya Mamet
terperanjat! Menyaksikan Riza berjongkok Begitu di dekat pusara dan
langsung mengorek-ngorek tanah makam Mamet. Menggali sedikit pusara
tersebut dan menaruh bungkusan yang tadi di beli diwarung sebelum
akhirnya dia rapi kan kembali.
”Yah, mari kita berharap, semoga di
langit sana Mamet bisa berjalan. Berpijak pada awan.” ucap Riza.
Diperjalanan pulang gue bertanya tanpa ingin tau jawabanya (karena
sepertinya gue tau apakah itu)
”Dimakam tadi, bungkusan apa yang Bapak kubur?”
Riza tersenyum
”Sandal”
#ES (sengan sedikit editan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar