“Urusan spiritual, adalah urusan pribadi masing-masing dengan
Tuhan. Mengingatkan sekali dua kali gak apa-apa. Tapi jika sampai
berkali-kali, aku rasa tidak perlu. Karena tanggung jawab keagamaan
adalah tanggung jawab masing-masing. Bukan tanggung jawab bersama…”
Demikian lah kalimat pendapat temanku ketika aku bertanya mengenai
masalah agama. Dia bukan seorang ustadz, tapi bukan pula seorang yang
memiliki keimanan yang dangkal. Aku salut dengan ibadahnya, salut dengan
ketekunannya menyikapi agama dengan tulus, salut dengan pribadinya yang
ketika menilai sesuatu, tidak merasa paling benar.
Bukanya tanpa sebab jika secara tiba-tiba aku bertanya mengenai
agama. Karena menurutku, hal itu adalah hal paling sensitive dari
kebanyakan topic yang bisa diobrolin. Namun jujur, akhir-akhir ini aku
merasa tertekan oleh sikap teman-teman ku yang lain. Mungkin bukan salah
mereka ketika mengingatkan ku untuk melaksanakan sholat lima waktu
karena biar bagaimanapun pendapatku sama seperti pendapat mereka, jika
sesama muslim wajib saling mengingatkan untuk melaksanakan kewajiban
manusia sebagai makhluk tuhan. Satu kali atau dua kali mereka
mengingatkan ku, aku terima sebagai nasehat bijak yang baik, tapi ketika
berkali-kali apakah salah jika aku mulai membela diri ketika mulai
tertekan.
Disuatu senja yang akan mulai menutup hari, kumandang adzan maghrib
telah menyandungkan nada ajakan untuk berinteraksi dengan Tuhan. Dan
seorang teman kembali mengingatkan ku untuk entah keberapa kalinya. Dan
ketika itu mood ku sedang tidak baik.
“Sebagai teman, gue cuma cuma ngingetin. Mumpung masih ada waktu.” kata nya.
“Terima kasih banyak. Terima kasih karena sudah mau peduli. Tapi
walaupun lo ingetin gue berkali-kali, keputusan gue tetep jadi hak gue
kan?” kata ku.
“Lo kok jadi sewot gitu. Maksud gue ngingetin elo kan baik. Mumpung
kita masih ada umur. Gimana kalo besok kita mati?” kata temanku.
“Ya matilah! Gitu aja ribet.” Jawabku enteng.
“Astagfirullah… Lo ga takut neraka? Ga mau surga?”
Sudah ku duga dia bakal nyinggung dua hal itu.
“Rey, gue mo nanya sama lo? Selama ini, lo jungkir balik ibadah karena
apa? Karena keinginan akan surga kah? Karena ketakutan akan neraka
kah?”
“Tentu! Ga ada orang yang mau neraka dan menolak surga kan?”
“Lalu dimana ketulusan lo kepada Tuhan?”
“Maksudnya?”
“Mohon maaf Rey, Gue harus jujur, sebenernya gue ga terlalu suka lo
terus-terusan ingetin gue tentang sholat. Menyindir gue diantara yang
lain, seolah-olah gue lah orang paling bersalah diantara kalian. Gue
merasa terhakimi. Ketika lo singgung tentang kadar keimanan gue. Tentang
ketulusan gue terhadap Tuhan. Dan apakah baik jika gue sholat hanya karna
mendengarkan ajakan kalian, padahal disisi lain hati tidak tulus.”
“Masalah surga dan neraka mestinya bukan menjadi patokan kita untuk
berlomba-lomba memiliki keimanan yang teguh. Karena mungkin benar kata
seorang penulis dalam sebuah buku yang pernah gue baca. Bahwa surga dan
neraka telah mencetak manusia menjadi sebuah mata uang logam dengan dua
sisi. Satu sisi tentang pamrih akan surga, dan sisi yang lain tentang ke
khawatiran akan neraka. Jika demikian, masih adakah sisa ketulusan
terhadap tuhan ketika manusia ibadah niatnya ternyata hanya mencemaskan
dua hal itu.”
“Astagfhirullah….”
“Maafin gue Rey kalo kata-kata gue terdengar sembarangan. Lo pernah bilang bahwa lo yakin bahwa semua orang yang sholat itu baik?”
“Memang!”
“Berarti pikiran lo dangkal?”
“Maksud lo apa?!”
“Bagaimana mungkin lo bisa nilai bahwa semua orang yang sholat baik, sedangkan di luar kehidupan sholatnya mereka lo ga tau.”
“Ya itu urusan mereka masing-masing.”
“Nah, itu lo tau. Urusan ibadah itu sendiri adalah urusan
masing-masing. Untuk apa meributkan sampai berkali-kali. Toh gue masuk
neraka pun ga akan nyalahin lo. Semuanya gue akan tanggung sendiri. Ga
akan ada yang ikut nanggung, bahkan orang tua gue sekalipun. Saat
sekarang gue bersyukur, gw bisa ngerasain Tuhan tetap ada di hati gue.
Meskipun sebetulnya mungkin dimatanya gue adalah manusia pendosa. Gue
bersyukur punya teman yang peduli seperti lo. Bersyukur dengan keadaan
gue….”
Temenku terdiam. Aku pun melanjutkan.
“Kadang gue takut. Takut lupa untuk mengukur kerendahan hati ketika
diberi kenikmatan dunia maupun musibah yang pedih…. Tapi, walaupun
demikian, gue yakin gue masih memiliki Kubah Ketulusan yang murni yang
akan gue persembahkan kepada Tuhan….”
-->> Curahan hati Eizan Shibanuma :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar