Minggu, 07 Juli 2013

Sandal Untuk Mamet - Part 2 (Cerpen)

Mamet…. Bukanlah sebuah nama yang bermakna puitis. Bukan pula seseorang yang memiliki raga sempurna. Dia hanyalah seorang bocah polos yang harus bergerak dengan bantuan sebuah kursi roda karena kedua kakinya sudah lumpuh teramputasi. Seorang anak yang entah kenapa membawa sebuah perubahan pada Riza... (Pada bos gue)
Entah seperti apa proses itu berjalan, banyak sekali perubahan-perubahan kecil pada Riza yang ternyata bukan gue aja yang ngerasain, tapi seluruh divisi pun merasakanya (bahkan ada yang menyangka kalo dia lagi jatuh cinta). Sampai pada kesempatan inilah gue sekuat tenaga ngumpulin keberanian buat nanya apa yang terjadi pada dirinya (tentu setelah kami akrab)
“Emang ada apa dengan saya?” katanya balik bertanya .
“Maaf pak, bukanya mau sok tau, tapi kayaknya bapak jadi ‘beda’ setelah peristiwa di busway .” Kata gue ngeri banget dia ngamuk.
“Owh, itu. “ dia tersenyum. (lagi dan lagi bikin gue terpesona, ugh seandainya blom punya tunangan gue mau deh jadi pacarnya) “Ga apa-apa. Cuma mungkin ada yang berkesan dari peristiwa itu.”
“Mmmm... Anak itu polos ya. Kalo dia cerdas, mestinya dia diam. Karena bisa jadi copet itu lebih dari satu orang dan ga ada yang bisa menjamin mereka ga bawa-bawa senjata kan.”
“Kamu bener. Tapi dia hebat. Dibalik kepolosanya dia punya keberanian untuk menolong orang. Jujur pada saat saya melihatnya, saya merasa saya sedang melhat riwayat saya. Dulu, dalam bis, saya pun pernah memergoki pencopet yang sedang beraksi terhadap seorang ibu. Bedanya, saya sama sekali tidak punya keberanian untuk meneriaki nya. Dan tidak lama setelah si copet berhasil mengambil dan turun, dan mungkin, merasa tidak ada yang tau. Si ibu pun menangis tersedu-sedu. Meratapi uangnya yang ternyata adalah hasil pinjaman dari tetangganya yang akan dipakai buat modal jualan kecil-kecilan. Dan saat itu saya ga pernah bisa lupain rasa bersalah saya. Bahkan tidak jarang saya berdoa semoga Tuhan mau mempertemukan saya dengan si ibu itu. Untuk mengganti uangnya. Saya tau persis bagaimana sulitnya hidup.”
Riza berbicara cukup tenang, mungkin pikiranya mampir sejenak ke masa lampau untuk menganang masa yang diceritakanya yang mungkin pula mirip dengan peristiwa yang kami alami di dalam busway. Dan rupanya kejadian tersebut membuat Riza dan Mamet berteman, Riza bertukar nomor dengan pamanya Mamet yang berdiri disebelah gue ketika di Busway.
“Ngomong-ngomong nanti sore bisa ga temenin saya ke rumahnya. Saya berniat memberikan sedikit hadiah untuk Mamet.”
“Oh, boleh-boleh. Kebetulan sekali saya ga ada acara apa-apa. Tapi Maaf pak, ngomong-ngomong nomor bapak yang kartu H**** kok ga active ya? Maksud saya, kalo mati tentu banyak klient kita yang ga bisa konfirmasi ke nomor itu.”
“Oh, Iya! Sorry Sejak kemarin malam saya matikan, habis saya malas banyak yang iseng.”
Dan tanpa diminta dua kali, Riza langsung meraih tasnya dan mengambil Handphone nya yang lain untuk dinyalakan. Dan benar saja, ketika telah nyala, bunyi ringtone langsung terdengar berkali-kali. Gue menunggu sejenak apakah ada kabar dari urusan pekerjaan. Namun gue merasa ada yang lain ketika melihat raut wajah Riza yang tiba- tiba kaget. Saking kagetnya dia menyerahkan sendiri handphone tersebut dan member isyarat membaca nya sendiri sebuah sms…
“ Innalillahi Wa’ Innalillahi Roziun… Mamet udah ga ada pak. Dia udah pergi selama-lamanya...Terima kasih atas kebaikan Bapak selama ini terhadap Mamet. Semoga dia bisa diterima… Amin.”
Sms itu di kirim semalam, itu tandanya hari ini acara pemakamanya.
”Hallo...!!! Dengan pak Rudi? Saya Riza pak, maaf saya baru buka sms. Mamet… Oh, Ya. Terima kasih pak.”
Setelah menelpon, Riza menatap gue dan berkata,
“Kamu ga keberatan temenin saya kerumahnya sekarang?Sepertinya kita memang harus ke rumahnya sekarang.”
Mobil langsung melaju menuju rumah Mamet di daerah Rawamangun. Untungnya jalanan tidak macet diwaktu siang. Dan hanya membutuhkan waktu 45 menitan dari kantor gue di daerah Sudirman. Sesampai nya dirumah Mamet, gue langsung tau ada suasana duka yang menyelimuti rumah itu. Rumah itu sederhana. Sangat sederhana ditengah pemukiman padat penduduk dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Suasana telah lengang, rupanya Mamet sudah dimakamkan 1 jam-an yang lalu. Kami hanya di temui bibinya... Dan pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Riza udah dapat di tebak jenis pertanyaan apa,
”Meninggalnya kenapa bu?”
”Demam tinggi. Udah dua hari ini dia demam, kami pikir demam biasa. Ternyata demam berdarah.”
Kami terdiam. Sejenak sampai bibinya berkata,
“Dasar bocah….”
“Maaf bu, apakah orang tuanya ada?” Riza bertanya. “Tadinya saya mau memberikan ini untuk Mamet.”
Bibinya tersenyum getir, dan hanya mengeleng ketika meraih bingkisan kecil terbungkus kertas coklat. Dan dengan suara sedikit bergetar, bibinya pun mulai bercerita kisah tentang Mamet.
“Rasanya baru kemarin sore kejadian itu. Saat saya mengambil Mamet dari laki-laki gila itu.”
Tak ada yang bertanya diantara kami. Gue dan Riza membiarkan bibinya bercerita.
“Tidak lama setelah kematian Kakak saya yang meninggal seusai melahirkan Mamet, Mamet hanya diurus oleh ayahnya. Entah bagaimana kejadianya, yang jelas. Menurut kabar yang saya dengar, Ketika itu Mamet merengek minta di beliin sandal. Kalian tau, Hanya Sebuah Sandal..... Saat itu emosi ayahnya sedang labil. Mandengar Mamet terus merengek menangis, membuatnya naik pitam, hingga dia nekat mengambil sebuah balok kayu besar dan langsung memukul kedua kaki Mamet sampai tulang kakinya retak.”
Gue berjengit.
”Lukanya parah, sampai harus diamputasi. Semenjak itu kami ambil untuk mengurusnya. Tapi ada satu hal tentang dia yang tidak akan pernah saya lupa. Yaitu keinginan dia memiliki sandal ajaib. Hahaha Dasar bodoh. Dia ingin sekali memiliki sandal ajaib yang bisa membantu dia bisa kembali berjalan. Hampir setiap hari saya secara tidak sengaja mendengar dia berdoa untuk mengeluh kepada tuhan. Ingin bisa berlarian dengan anak-anak seusianya. Ingin bermain bebas….”
Gue nangis.
“Tentu dengan pemikiran usia yang masih polos pun dia tau hal itu mustahil. Dan jika saya bisa, saya ingin menukar hampir apa saja demi ’sandal ajaib itu’....”
Perjalan ke pemakaman tidak jauh, sebelum gerbang TPU Riza mampir ke sebuah warung entah membeli apa. Setelah mengelilingi TPU, akhirnya kami menemukanya. Pusara itu kecil, tertancap kayu sederhana bertuliskan M. Mahdafi Rakasya. Gue dan bibinya Mamet terperanjat! Menyaksikan Riza berjongkok Begitu di dekat pusara dan langsung mengorek-ngorek tanah makam Mamet. Menggali sedikit pusara tersebut dan menaruh bungkusan yang tadi di beli diwarung sebelum akhirnya dia rapi kan kembali.
”Yah, mari kita berharap, semoga di langit sana Mamet bisa berjalan. Berpijak pada awan.” ucap Riza. Diperjalanan pulang gue bertanya tanpa ingin tau jawabanya (karena sepertinya gue tau apakah itu)
”Dimakam tadi, bungkusan apa yang Bapak kubur?”
Riza tersenyum
”Sandal”


#ES (sengan sedikit editan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar